Ir. Soekarnoadalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat
pada periode 1945–1966.Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa
Indonesia dari penjajahan Belanda.Soekarno adalah penggali Pancasila karena ia
yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai dasar negara Indonesia itu dan ia
sendiri yang menamainya Pancasila. Soekarno lahir di Surabaya Jawa Timur, 6
Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun
Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus
1965.Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah
menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964.Prof. Dr. K. Fellinger
dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar ginjal kiri Soekarno
diangkat tetapi ia menolaknya dan lebih memilih pengobatan tradisional.Ia masih
bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya meninggal pada hari Minggu, 21 Juni
1970 di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta dengan
status sebagai tahanan politik.
Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso
yang dimiliki oleh Ratna Sari Dewi.Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin
terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang merupakan
anggota tim dokter kepresidenan.Tidak lama kemudian dikeluarkanlah
komunike medis yang ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr. Mahar Mardjono beserta
Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono Kertopati.
Komunike medis tersebut menyatakan hal sebagai berikut:
Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan
kesehatan Ir. Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir. Soekarno dalam
keadaan tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir. Soekarno meninggal dunia.
Tim dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan
kritis Ir. Soekarno hingga saat meninggalnya.
Walaupun Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di
Istana Batu Tulis, Bogor, namun pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota
Blitar, Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman Soekarno.Hal tersebut
ditetapkan lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970.Jenazah Soekarno dibawa ke Blitar
sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan dengan
makam ibunya.Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh Panglima ABRI Jenderal M.
Panggabean sebagai inspektur upacara.Pemerintah kemudian menetapkan masa
berkabung selama tujuh hari.
Meninggalnya sang proklamator kemerdekaan Indonesia sampai
sekarang menyisakan misteri. Perawatan penyakit, masalah pemakaman dan
pembatasan keluarga Soekarno sampai sekarang menjadi cerita yang tidak pernah
selesai dan menjadi kontroversi dan misteri
Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus
1965. Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah
menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964. Prof. Dr. K.
Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar ginjal
kiri Soekarno diangkat tetapi ia menolaknya dan lebih memilih pengobatan
tradisional. Ia masih bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya meninggal pada
hari Minggu, 21 Juni 1970 di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot
Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan politik.Jenazah Soekarno pun
dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki oleh Ratna Sari Dewi.
Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin terhadap Soekarno sempat dilakukan
oleh Dokter Mahar Mardjono yang merupakan anggota tim dokter kepresidenan. Tidak
lama kemudian dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh Ketua
Prof. Dr. Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI AD)
Rubiono Kertopati.
Namun jauh sebelum pertemuan itu, Kartono bertemu Wu Jie
Ping, dokter yang pernah merawat Soekarno di Hong Kong. Wu mengungkapkan bahwa
Soekarno hanya mengalami stroke ringan akibat penyempitan sesaat di pembuluh
darah otak saat diberitakan sakit pada awal Agustus 1965, dan sama sekali tidak
mengalami koma seperti isu yang beredar. Ini menepis spekulasi bahwa Soekarno
tidak akan mampu menyampaikan pidato kenegaraan pada peringatan hari proklamasi
17 Agustus 1965. Dan nyatanya, Soekarno tetap hadir pada peringatan detik-detik
proklamasi 17 Agustus itu di Istana Merdeka, lengkap dengan tongkat komandonya.
Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara
sejak pagi. Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di
beberapa titik strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas
keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit hingga
pelataran parkir.
Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang
berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini
dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.
Derik-detik menjelang kematian Soekarno dimula ketika di
dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan
presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini
kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat
berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit
ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan
tubuhnya. Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa—dan sebab itu banyak
digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat
hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya
telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya
bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu
mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini
hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan
sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara,
kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara
untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak
mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara
perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini. “Pak, Pak,
ini Ega…” Senyap.
Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka.
Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar,
seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak
mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan
kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi
tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai.
Soekarno terdiam lagi.
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air
matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda
itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan,
Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar. Jarum jam terus
bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga.lengkap dengan
senjata. Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara
hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.
Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta
diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya
menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap
kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan
rasa sakit yang tak. terperi, Soekarno berkata lemah. “Hatta.., kau di sini..?”
Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau
kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam
kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar.
Sedikit tersenyum menghibur. “Ya, bagaimana keadaanmu, No?”
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa
lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya.
Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini. Bibir
Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan
bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka. masih
bersatu dalam Dwi Tunggal. “Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu? Hatta
memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno. Soekarno
kemudian terisak bagai anak kecil. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan
seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu
mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta
ikut menangis. Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan
tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang
sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa
kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya
bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani. “No…” Hanya itu yang bisa
terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar
menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya. terguncang-guncang. Jauh di
lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa
bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak
bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang
demikian erat dan tulus. Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya
ini kembali memejamkan matanya. Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi
angka.
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang
sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka
kedua matanya. Suhu. badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh
membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih
berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali
pun melihat anaknya.
Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang
anggota tim dokter. kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin.
Bersama dua orang. paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien
istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu
waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia
memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno
menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan
panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan
yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas
terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya
tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.
De Soekarnoisasi
De-Soekarnoisasi adalah kebijakan yang diambil oleh
pemerintah Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto untuk memperkecil peranan dan
kehadiran Soekarno dalam sejarah dan dari ingatan bangsa Indonesia.
Langkah-langkah tersebut dilakukan antara lain dengan jalan
mengganti nama Soekarno yang diberikan pada berbagai tempat atau bangunan di
Indonesia. Misalnya, Stadion Gelora Bung Karno diubah menjadi Stadion Utama
Senayan, kota Soekarnopura (sebelumnya bernama Hollandia) diubah namanya
menjadi Jayapura, dan Puncak Soekarno diubah namanya menjadi Puncak Jaya.
Selain itu, pada saat Soekarno meninggal, keinginannya untuk dikebumikan di
Istana Batu Tulis, Bogor tidak dipenuhi oleh pemerintah. Sebaliknya, Soekarno
dikebumikan di Blitar, tempat tinggal kedua orang tua beserta kakaknya, Ibu
Wardojo.
Upaya-upaya lain yang lebih fundamental dilakukan dengan
memperkecil peranan Soekarno dalam mencetuskan Pancasila serta tanggal
kelahiran pemikiran yang kemudian dijadikan ideologi nasional pada 1 Juni 1945.
Nugroho Notosusanto, yang merupakan sejarawan resmi Orde Baru dan yang sangat
dekat dengan militer, mengajukan pendapat bahwa tokoh utama yang mencetuskan
Pancasila bukanlah Bung Karno, melainkan Mr. Mohammad Yamin, pada tanggal 29
Mei 1945. Pendapat resmi inilah yang selalu dipegang selama masa Orde Baru, dan
dicoba ditanamkan lewat program P-4.
kolom komentar :
Sejukkan dan Majukan Indonesia dengan Opini Positif. Serukan
opini dengan jujur, santun dan cerdas. Lebih baik memilih “Menyalakan
lilin dari pada mengutuk kegelapan”.
Aku Anak Indonesia yang Cinta Bangsa Ini. Aku Anak Indonesia
bukan dari satu partai manapun, bukan dari satu golongan apapun atau dari
kelompok lainnya. Aku Anak Indonesia yang hanya rakyat biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar